Perkembangan Ilmu Sosial

Tulisan ini bertujuan untuk mencoba menjelaskan bagaimana pemikiran dalam ilmu sosial berkembang mulai dari filsafat sosial, ilmu sosial klasik, modernisme, postmodernisme, hingga perspektif ilmu sosial Islam.

Filsafat sosial meneliti dunia sosial kita dengan memeriksa identitas, hubungan, dan struktur kekuasaan di dalamnya. Tokoh-tokoh terkemuka seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles memberikan landasan penting bagi perkembangan ilmu sosial. Socrates, dengan fokusnya pada etika dan moralitas, mengembangkan metode dialektika untuk mencari kebenaran, keadilan, dan kebajikan. Pemikiran ini kemudian memengaruhi Plato, yang dalam karyanya “Politeia” menguraikan pandangannya tentang negara sebagai pemelihara keadilan dan mengintegrasikan masyarakat dalam struktur politik. Aristoteles, murid Plato, melanjutkan dengan pandangannya tentang hubungan antara politik dan masyarakat yang bersifat normatif.

Pada era ilmu sosial klasik, tokoh seperti Auguste Comte, yang dikenal sebagai bapak sosiologi, menawarkan teori tentang perkembangan masyarakat yang didasarkan pada perkembangan pikiran manusia. Comte membagi perkembangan ini menjadi tiga tahap: teologis, metafisik, dan positivisme, di mana setiap tahap mencerminkan kemajuan dalam pemahaman manusia tentang dunia. Pada tahap teologis, manusia menjelaskan segala sesuatu di dunia dengan mengaitkannya pada kekuatan supernatural atau dewa-dewa. Kemudian, pada tahap metafisik, manusia mulai mencari penjelasan melalui konsep-konsep abstrak dan spekulasi, seperti kekuatan alam. Akhirnya, di tahap positivisme, manusia mulai mengandalkan pengamatan dan penelitian ilmiah untuk memahami dunia, menggantikan spekulasi dengan bukti yang dapat diuji. Tokoh lainnya yang berpengaruh yaitu Karl-Max yang tekenal dengan teori kelas sosial nya yang membagi Masyarakat menjadi 2 golongan yaitu kaum borjuis (pemegang modal/ alat produksi) kemudian ada proletar (kaum pekerja), karl-max juga berpendapat bahwa jika ingin perubahan sosial terjadi maka kaum kapitalis itu harus di singkarkan dengan kata lain revolusi sehingga bisa diciptakan sistem baru seperti sosialisme. Kemudian terdapat tokoh lain yatu Maximilian Weber yang cukup berlawanan dengan Marx, ia memiliki pemikiran terkenal yaitu etika protestan dan semangat kapitalisme, Dimana weber beranggapan bahwa bukan hanya faktor ekomomi saja yang dapat menmbuat perubahan sosial seperti yang diatakan max tetapai ada juga faktor pendorong perubahan sosial lainnya yaitu budaya, politik/kekuasaan, dan agama khususnya protestan pada masa itu berperan dalam perubahan sosial untuk mendukung perkembangan ekonomi kapitalis sementara max beranggapan

bahwa agama itu layaknya “opium” bagi para pekerja untuk mengontrol dan menenangkan kaum proletar agar tetap menerima eksplotasi dari kaum borjuis. Masih ada lagi tokoh pada masi zaman klasik ini yaiitu Emile Durkheim yang memiliki pemikiran bahwa masyarakat memiliki unsur-unsur yang mempengaruhi perilaku individu, yang ia sebut sebagai “fakta sosial.” Fakta sosial meliputi norma, nilai, dan institusi yang ada di luar individu tetapi mengatur bagaimana mereka berperilaku.

Setelah ilmu sosial klasik, muncul era modernisme yang membawa perspektif baru dalam memahami masyarakat. Pada masa ini, tokoh-tokoh seperti Anthony Giddens, Pierre Bourdieu, dan Peter Berger memberikan kontribusi signifikan terhadap pemikiran sosial. Anthony Giddens terkenal dengan teori strukturasi, yang menekankan hubungan timbal balik antara struktur sosial dan tindakan individu. Giddens berpendapat bahwa struktur sosial tidak hanya membatasi tindakan individu, tetapi juga dibentuk dan dimodifikasi melalui tindakan-tindakan individu. Konsep ini membantu memahami bagaimana individu dan struktur saling mempengaruhi dalam masyarakat. Pierre Bourdieu memperkenalkan konsep-konsep seperti habitus, kapital sosial, dan Arena. Bourdieu berfokus pada bagaimana kekuasaan dan sumber daya sosial berdistribusi dalam masyarakat dan bagaimana individu menggunakan modal sosial, budaya, ekonomi, dan simbolik untuk memperoleh dan mempertahankan posisi sosial mereka. Ia menganggap bahwa struktur sosial dan kekuasaan sangat mempengaruhi tindakan dan posisi individu dalam masyarakat. Peter Berger, bersama dengan Thomas Luckmann, mengembangkan teori konstruksi sosial realitas. Mereka berpendapat bahwa realitas sosial dibentuk melalui interaksi manusia dan konstruksi sosial, bukan hanya sebagai fakta objektif. Menurut mereka, pengetahuan dan makna sosial dibangun melalui proses sosial yang melibatkan komunikasi dan interaksi antara individu.

Masuk ke era postmodernisme, pemikiran sosial mengalami perubahan yang signifikan dengan fokus pada relativisme, dekonstruksi, dan pluralitas. Jean-François Lyotard menekankan penolakan terhadap narasi besar yang mendominasi pemikiran modern, dan lebih fokus pada pluralitas yaitu narasi kecil yang bersifat lokal berlawanan dengan narasi besar yang bersifat universal. Jean Baudrillard memperkenalkan konsep simulakra dan hiperrealitas, yang menggambarkan bagaimana masyarakat modern mengalami realitas melalui citra dan simulasi, bukan melalui pengalaman langsung. Michel Foucault memiliki teroi yang terkenal bernaman Teori Kekuasaan dan Pengetahuan, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan saling terkait erat. Menurutnya, pengetahuan tidak hanya menggambarkan kenyataan secara

objektif, tetapi juga bisa digunakan untuk mengendalikan dan mempengaruhi masyarakat. Pengetahuan yang dibuat dan disebarluaskan oleh institusi atau individu tertentu sering kali berfungsi sebagai alat kekuasaan. Teori lain yang ia cetuskan yaitu Disiplin dan Hukuman dalam bukunya “Discipline and Punish,” Foucault menjelaskan bagaimana kekuasaan diterapkan melalui sistem disiplin dan pengawasan. Ia memperkenalkan konsep “panoptikon,” yaitu desain penjara yang memungkinkan pengawas melihat semua tahanan tanpa mereka ketahui apakah mereka sedang diawasi, menciptakan efek pengawasan yang terus-menerus.

Kemudian perspektif ilmu   sosial   Islam,   tokoh seperti Amien Rais dan Kuntowijoyo berkontribusi pada pemahaman tentang bagaimana ajaran Islam dapat diterapkan dalam analisis sosial. mien Rais dikenal dengan gagasan “tauhid sosial,” yang mengartikan bahwa prinsip tauhid (keseatuan Tuhan) harus diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan sosial dan politik. Ia berpendapat bahwa segala aspek kehidupan, termasuk sosial dan politik, harus sejalan dengan nilai-nilai Islam yang fundamental. untowijoyo dikenal dengan pendekatannya dalam “Islamisasi Pengetahuan,” yang bertujuan untuk mengintegrasikan nilai-nilai Islam dalam kajian ilmu sosial dan humaniora. Ia percaya bahwa untuk memahami dan memecahkan masalah sosial, perlu adanya pengetahuan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam. Perbedaan mereka dalam menyelesaikan atau memeberikan ide dan gagasan dalam suatu persoalan terletak pada bagaimana amien rais menyampaikan secara eksplisit bahwa nilai-nilai islam bisa dapat diterapkan langusng dalam kebijakan sedangkan pada kuntowijoyo memasukan nilai islam secara tidak lansung kedalam prinsip- prinsip atau ide-idenya agara dapat diterima oleh khalayak yang lebih luas.

(Miftahullah Surya Nugraha/ PK IMM SANITEK)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *